Headlines News :

Ponsel Bisa Disadap orang Dekat

Soal selidik-menyelidik, memang bukan monopoli polisi atau detektif swasta saja. Orang awam sekalipun bisa merasakan jadi penyelidik, untuk berbagai tujuan pribadi. Apalagi alat-alat canggih ala James Bond saat ini sudah banyak ditawarkan di pasaran. 

Sepintas, nama-namanya cukup seram: alat penyadap pembicaraan ruangan, kamera mini, pendengar suara jarak jauh, teropong berkamera, teropong malam hari, kamera tembus pandang, dan sebagainya. Di Jakarta, barang-barang semacam itu bisa didapatkan di toko-toko elektronik, di kawasan Glodok. Atau silakan Anda melihat-lihat sejumlah  toko online di internet

Teknologi terbaru yang sedang jadi pembicaraan hangat adalah penyadap ponsel. Proses penyadapannya ternyata cukup sederhana, yaitu tinggal memasukkan software tertentu ke dalam ponsel melalui kartu memori. Hasilnya, semua SMS dan pembicaraan bisa diketahui penyadap. Ponsel juga bisa dihubungi tanpa ada nada masuk, sehingga menjadi seperti mikrofon alat penyadap yang memberikan siaran langsung segala aktivitas pemegang ponsel. 

Soal melanggar hukum atau tidak, hal itu sangat bisa diperdebatkan. Tapi yang jelas, penyadapan memang hanya bisa dilakukan terhadap ponsel orang-orang terdekat, karena dibutuhkan nomor IMEI (15 digit angka identitas ponsel) dan harus memasukkan software lewat kartu memori. Dua langkah yang tentunya tidak bisa dilakukan sembarang orang. 

"Pemakainya, misalnya orangtua yang ingin mengawasi anaknya agar tidak terlibat narkoba. Atau orang yang ingin tahu apakah pasangannya selingkuh atau tidak," Hal ini seperti yang ditawarkan oleh DSI Management

Ponsel yang bisa disadap terutama yang menggunakan sistem operasi Symbian. Itu artinya, mayoritas ponsel yang beredar di pasaran saat ini.

Kamera kepolisi San Jose untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat

Sedih melihat apa yang terjadi di negara kita yang tercinta ini dimana para penegak hukum saling berargumen dan yang menjadi masalah kita tidak tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Jadi hal yang dilakukan oleh para polisi di San Jose ini wajib ditiru.

Bukan rahasia lagi kalau kadang (tidak banyak sih) ada sebagian polisi yang suka main hakim sendiri, termasuk di San Jose sana makanya saat ini semua polisi disana harus menggunakan apa yang disebut head-mounted cameras (AXON) untuk merekam semua kejadian baik secara visual maupun audio. Dengan kamera ini, setiap polisi disana harus mengaktifkan kamera ini bila sedang menangkap atau berinteraksi dengan masyarakat. Dan setelah masa tugasnya selesai, hasil rekaman ini akan di-upload ke server di kantor polisi untuk disimpan.
Tentu saja hasil rekaman ini akan digunakan apabila ada masalah antara polisi dengan masyarakat.
Memang tidak murah untuk membuat masyarakat lebih percaya dengan polisi karena untuk satu alat ini dibeli dengan harga US$ 1.700 dan di San Jose sana ada sekitar 1.400 polisi. Coba aja dikalikan berapa duit tuh. :-)
Oh iya, alat ini namanya Taser Axon.


Sering kita mendengar bahwa polisi akhirnya kalah di pengadilan karena tidak punya cukup bukti atau bisa membuktikan apa yang telah dilakukan seorang tersangka pada saat terjadinya penangkapan.
Taser Axon adalah sebuah kamera video kecil yang digunakan untuk merekam seluruh kejadian pada saat polisi melakukan penangkapan terhadap seseorang.
Kamera video ini dibuat sangat ringan dan fleksibel sehingga memudahkan untuk setiap polisi untuk membawanya dan mengenakannya di samping kepala mereka.
Taser Axon terdiri dari 3 alat yaitu kamera video, control dan sebuah layar LCD. Ketika diperlukan, cukup menekan tombol rekam yang ada di controlnya (secara manual) maka semua kejadian akan terekam dan bisa digunakan sebagai alat bukti nantinya.
Tentu sangat baik bila polisi menggunakan alat seperti ini untuk membantu mereka dalam melakukan penangkapan tetapi alangkah lebih baiknya bila alat ini bisa bekerja secara otomatis sehingga alat ini bisa juga merekam polisi yang nakal. :-)
Seandainya itu terjadi maka sepertinya sudah tidak ada lagi yang namanya "tilang ditempat" atau "uang damai" pada saat anda kena tilang. :D

Misteri Berdetaknya Lukisan Bung Karno

Misteri Lukisan Bung Karno, misteri ini benar-benar nyata gan tanpa ada rekayasa y namanya juga misteri, misteri berdetaknya Jantung Bung Karno pada lukisan sejarah. Coba sama gan kunjungi Museum Bung Karno yang terletak di blitar memiliki berbagai koleksi peninggalan bung karno, selain benda-benda yang bernilai sejarah yang erat kaitannya dengan bung karno, di museum yang tak pernah sepi pengunjung ini juga terdapat sebuah lukisan besar yang berukuran 150cm x 175cm yang bergambar Bung Karno.


BUNG KARNO BUNG HATA
Misteri bukan Mitos lagi Cerita misteri keanehan Lukisan ini , menurut sejumlah orang yang pernah melihatnya adalah TAMPAK HIDUP, siapapun yang melihat lukisan ini sambil memusatkan konsentrasi serta pandangan terarah penuh dibagian jantung bung KARNO pada lukisan ini maka SEKETIKA NAMPAK BERGERAK, SEOLAH-OLAH BERDETAK SEPERTI LAYAKNYA ORANG SEDANG BERNAFAS. banyak pengunjung yang heboh karena menyaksikan lukisan ini seperti hidup. sejak saat itu lukisan ini menjadi obyek pertama yang didatangi pengunjung.

Menurut Penjaga musseum Tanwir, didalam lukisan tersebut berdiam sosok gaib bernama jatoro suro sosok jin penunggu gunung kelud yang telah di takhlukkan bung karno. cerita ini berdasar pada penerawangan beberapa paranormal. dulu sebelum ada lukisan tersebut sosok jin penunggu lukisan tersebut bersemayam di dekat makam bungkarno dan bukanlah cerita misteri.

Konon bung karno adalah seseorang yang gemar bermeditasi, pada saat melakukan ritual di gunung kelud, ada sosok makhluk halus yang menggodanya dan berusaha menggagalkan meditasinya, karena digoda tak mempan akhirnya jin ini menyerangnya, akhirnya terjadilah perkelahian di alam gaib yang pada akhirnya dimenangkan oleh bung karno, pada saat itulah akhirnya jin ini menjadi pengawal bungkarno. Jin ini sangat setia pada bung karno, saat bung karno meninggalpun jin ini tetp setia berada di samping makam nya bahkan terkadang jin ini merubah wujudnya menjadi bung karno. Fenomena ini asli fenomena alam gaib dan bukan rekayasa.

Polisi Mabuk dengan Wanita

Oknum Polisi Berseragam Mabuk dengan Wanita yang gak jelas asal usulnya. Hmm.... di tengah citra polisi dan polri yang sedang terpuruk..  kok tambah kacau seperti ini..  Apa karena dia merasa polisi yang ditakuti oleh masyarakat karena seragam dan pistol yang selalu ditentang kemana-mana?

Cilakanya.. foto ini diambil dalam keadaan masih menggunakan seragam.... yayaya.. SERAGAM POLISI.. Almamater yang seharusnya dijunjung tinggi....  tolong cermati foto ini dan segera ditindak lanjuti atas apa yang telah dia lakukan .. jangan semakin mencoreng nama kepolisian.....

Gimana pendapat sahabat semuanya yang telah melihat foto ini ? 

Mau dibawa kemana aparat penegak hukum kita ini ?




Asing incar “harta karun”, RI jual diri


Pelelangan harta karun yang diangkat dari perairan Cirebon, Jawa Barat, beberapa waktu lalu, gagal. Rencana penjualan Benda Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) berupa 271 ribu item artefak senilai 720 miliar rupiah oleh Pemerintah Indonesia tersebut tidak mendapatkan satu pun peserta.

Momen ini, menarik untuk dicermati, yang mengingatkan adanya lebih banyak lagi persebaran harta karun serupa di perairan Indonesia. Badan Riset Departemen Kelautan dan Perikanan merilis data bahwa terdapat sekitar 463 titik lokasi yang diduga terdapat harta karun kapal yang karam sepanjang 1508-1878. Sejatinya ada puluhan ribu titik, namun yang sudah disurvey dan diteliti baru sekitar 463 titik. Diperkirakan, nilai harta karun itu mencapai Rp 1.600 triliun.

Tapi, apakah hanya karena nilai ekonomis itu pengangkatan BMKT dilakukan?


Disadari ataupun tidak, survey ataupun pengangkatan BMKT hampir selalu melibatkan pihak asing, khususnya dalam penyelaman bawah laut. Keterlibatan pihak asing sendiri telah memunculkan persoalan baru yang jauh lebih beresiko. Hal ini terkait minimnya pengawasan dan aturan penyelaman di wilayah perairan Indonesia.

Sumber INTELIJEN menyebutkan sejumlah penelitian bawah laut sejatinya diarahkan untuk mengetahui potensi bawah laut Indonesia: peta bawah laut, potensi SDA dan bahkan mungkin ujungnya adalah hukum pembiasan. Di Indonesia pernah terjadi kasus itu, salah satunya operasi intelijen bersandi “Snellius”.

Sangat mungkin, nilai ekonomis harta karun BMKT hanya menjadi kedok bagi kepentingan lebih strategis pihak asing melalui survei dan pengangkatan benda-benda yang sarat nilai sejarah tersebut. Ironisnya, Pemerintah Indonesia terlihat lebih agresif mengejar nilai ekonomisnya. Asing incar “harta karun”, RI jual diri! (INTELIJEN No. 3/Th. VII/2010, 20-2 Juni).

BodyGuard Indonesia

Sosok bodyguard atau pengawal pribadi biasanya identik dengan ciri-ciri fisik berotot, berbadan tegap, sering dijumpai bila kita bertemu dengan artis atau orang ternama. Seakan-akan mereka adalah tameng dari orang-orang yang memakai jasanya. Bodyguard di indonesia masih dianggap sebagai jasa untuk orang-orang berduit saja. karena mengingat jasa seorang bodyguard masih sangat mahal. Banyak juga para pengusaha yang tidak luput dari pengguna jasa bodyguard tersebut.

Bagi kalangan artis mereka bertugas menjaga keamanan dan mengawal artis dari tangan-tangan jahil para pengemar. Ditengah kemeriahan konser, sejumlah sosok berbadan tegap dan besar ini sering kali terlihat bersiaga. Berkat karakteristiknya yang sangat kas, mudah sekali membedakan mereka dengan para petugas keamanan lain. Itulah BodyGuard.

Ada satu case yang pernah saya jumpai bahwa klient membutuhkan jasa bodyguard untuk keperluan perform bisnis semata. Mereka menyewa jasa bodyguard agar dianggap sebagai pengusaha yang sukses dimata rekanan sesama pebisnisnya. Hahahaha..  lucu juga kadang kalau saya mencoba mengingat-ingat job tersebut..  Kadang saya berfikir orang sukses itu aneh-aneh juga ya tingkah lakunya... ya tapi kami tetap perlu menjaga keprofesionalan kami dalam menjalankan bisnis ini. Bagaimanapun juga klient adalah bos kami yang patut untuk dijaga.

Seiring dengan perkembangan jaman yang kian lama kian tidak menentu, yang semakin kita dituntut untuk selalu lebih maju agar tidak tertinggal dengan perkembangan tersebut yang menyebabkan banyak sekali terjadinya tindakan-tindakan perampokan, pemerkosaan dimana-mana, penculikan, dll yang membuat kita semakin tidak nyaman dalam menikmati hidup. Hal itulah yang mendasari para agent2 diIndonesia memiliki ide untuk membuat suatu organisasi yang sering disebut dengan BodyGuard atau yang diartikan dengan layanan jasa pengawalan.  

By.Mr.Bob

Intelijen Indonesia dari Masa ke Masa

Perkembangan lembaga intelijen Indonesia di masa lalu dapat dibagi dalam dua babak penting, yakni babak intelijen perjuangan dan babak intelijen pembangunan (Wirawan, 2005). Dari istilah yang digunakan, sudah dapat dibayangkan bahwa babak intelijen perjuangan terjadi di masa-masa perang revolusi kemerdekaan dan beberapa saat setelah kekuatan kolonial meninggalkan Indonesia.
Tulisan ini dimuat dalam “Komisi I: Senjata, Satelit dan Diplomasi”.
Adalah Kolonel Zulkifli Lubis, seorang perwira militer alumni Pembela Tanah Air (PETA) bentukan Jepang, yang mengawali babak intelijen perjuangan ini. Zulkifli Lubis memimpin Badan Istimewa (BI) yang didirikan bulan September 1945 dengan tugas mengumpulkan sebanyak mungkin informasi menjelang kedatangan pasukan Belanda setelah Perang Dunia II berakhir. Wilayah negara yang begitu luas dan kemampuan mobilisasi yang masih amat terbatas, memaksa BI untuk sementara hanya beroperasi di Pulau Jawa. Tingkat pengalaman dan koordinasi yang rendah dari seluruh operasi intelijen di masa itu pun membuat keputusan politik pemerintah yang didasarkan pada laporan-laporan intelijen menjadi tidak optimal.

Walaupun menandatangani seluruh dokumen otorisasi laporan BI, namun Presiden Sukarno bisa dikatakan tidak memiliki kendali penuh atas operasi intelijen BI. Ia juga tidak dapat mengontrol operasi intelijen yang dilakukan kelompok militer yang memandang kegiatan intelijen sebagai bagian dari tugas mereka sebagai satuan tempur nasional. Intinya, koordinasi operasi intelijen di masa itu kacau.

Kondisi ini memaksa pemerintah beberapa bulan kemudian, tepatnya tanggal 7 Mei 1946, mendirikan sebuah lembaga intelijen baru yang diberi nama Badan Kerahasian Negara (Brani) sebagai payung besar bagi berbagai operasi intelijen yang dilakukan satuan-satuan intelijen di seluruh Pulau Jawa. Seperti BI, Brani juga dipimpin Zulkifli Lubis. Walau telah diberi mandat sedemikian besar, namun pada praktiknya Brani pun terlibat dalam pertarungan kepentingan. Kali ini yang dihadapi Zulkifli adalah Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin yang juga membentuk lembaga intelijen di departemen yang dipimpinnya. Menyusul Brani, juga dibentuk Lembaga Pertahanan B yang dimaksudkan sebagai alat tanding untuk menghadapi pengaruh pihak sipil atas lembaga intelijen di tingkat nasional.

Pekerjaan Zulkifli Lubis terbilang berat. Selain menghadapi Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin yang mewakili kelompok sipil, dia juga harus bersitegang dengan kelompok militer yang masih ingin mendominasi operasi intelijen nasional. Fragmentasi ideologi politik kanan-tengah-kiri ketika itu ikut mempengaruhi perebutan pengaruh baik di tingkat elit lembaga intelijen maupun di saat operasi intelijen tengah berlangsung di lapangan. Kelompok militer yang “kanan” mengandaikan bahwa mereka berhadapan dengan koalisi kelompok “tengah” yang dipimpin Zulkifli Lubis dan kelompok “kiri” yang dimotori Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin.

Namun sesungguhnya, dua kelompok terakhir pun memiliki rivalitas yang tak mudah untuk dipadamkan. Pada episode selanjutnya, Brani dibubarkan dan Departemen Pertahanan membentuk lembaga intelijen Bagian V sebagai organisasi yang mengoordinir semua operasi intelijen di tingkat nasional. Kolonel TB Simatupang yang memimpin Angkatan Perang ketika itu juga mengambil inisiatif membentuk Biro Informasi Staf Angkatan Perang (BISAP). Pembentukan lembaga ini memperlihatkan pandangan kelompok militer yang tetap ingin terlibat dalam pengambilan keputusan politik tingkat nasional. Keadaan tak menentu ini terus berlangsung dan cenderung parah di saat Indonesia mengadopsi sistem pemerintahan parlementer.

Hiruk-pikuk rivalitas dan perebutan pengaruh di panggung intelijen nasional sedikit dapat diredakan setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 1 Juli 1959, yang berarti menjadikan dirinya sebagai pemain utama di atas panggung politik nasional. Sebuah lembaga intelijen bernama Badan Koordinasi Intelijen (BKI) sempat dibentuk walau tak berumur panjang karena kesulitan koordinasi dengan kubu militer. Tanggal 10 November 1959, Badan Intelijen Pusat (BIP) didirikan dengan kewenangan mengkoordinir lembaga intelijen lainnya, termasuk yang dikuasai oleh korps loreng. BIP bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden Sukarno yang memberikan dukungan dana dalam jumlah besar untuk lembaga ini. Presiden Sukarno menunjuk orang kepercayaannya, Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio, untuk memimpin lembaga ini. Tetapi BPI dan karier Subandrio di dunia intelijen berakhir bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Presiden Sukarno delapan tahun kemudian.

Melanjutkan BIP, Pangkopkamtib Jenderal Soeharto yang kemudian menggantikan Presiden Sukarno mendirikan Komando Intelijen Negara (KIN) pada bulan Agustus 1966. Inilah tonggak babak intelijen pembangunan, dimana rivalitas politik yang diperkirakan mengancam kewibawaan pemerintahan Orde Baru difatwakan sebagai sesuatu yang haram.

Dipimpin Letnan Jenderal Yoga Sugama, salah seorang kepercayaan Soeharto, KIN bertanggung jawab langsung kepada Pangkopkamtib. Yang juga menjadi tugas lain KIN adalah membersihkan elemen pendukung rezim Sukarno, termasuk anggota dan pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI). Bulan Mei 1967, KIN berubah nama menjadi Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) dengan tugas utama mengumpulkan informasi dari luar negeri (intelligence gathering) dan operasi kontra spionase (counter espionage). Sementara itu fungsi pengawasan dalam negeri dijalankan oleh Satuan Khusus Intelijen atau Satsus Intel (Wirawan, 2005).

Karakter lembaga intelijen di masa awal Orde Baru ini disesuaikan dengan desain politik yang dikembangkan pemerintahan Soeharto yang menitikberatkan dan memprioritaskan stabilitas nasional. Pemerintah percaya hanya dengan stabilitas nasional proses pembangunan ekonomi nasional dapat dijalankan. Pertumbuhan dan pemerataan pembangunan ekonomi juga disandarkan pada pendekatan ini. Stabilitas nasional sebagai doktrin utama diartikan sebagai keadaan tanpa perbedaan pandangan politik dan oposisi. Untuk mendukung ideologi pembangunan ini, berbagai lembaga intelijen di era Orde Baru dibekali kewenangan untuk melakukan pengawasan, pemantauan dan penangkapan terhadap pihak dan kelompok yang dipandang dapat membahayakan dan mensabotase program pembangunan nasional.

Era 1970-an adalah saat dimana pemerintahan Orde Baru berhasil mematangkan konsolidasi politik. Di masa itulah Presiden Soeharto memberikan tongkat kepemimpinan lembaga intelijen kepada Letnan Jenderal Sutopo Yuwono. Dan di luar itu, masih ada sejumlah lembaga yang juga memiliki peran dan kewenangan yang sama dengan Bakin. Sebut saja, Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda) dan Kepala Sosial Politik Daerah (Kasospolda) dari jalur militer dan sipil yang dalam hal ini dimotori Departemen Dalam Negeri.

Namun konsolidasi politik yang terbilang matang di era 1970-an tidak secara otomatis melenyapkan tradisi rivalitas di lembaga intelijen. Pertarungan elit lembaga intelijen, seperti yang terjadi antara Sutopo Yuwono dan Ali Moertopo, yang juga merupakan orang kepercayaan Presiden Soeharto, telah melahirkan krisis politik di dalam negeri yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Malari 1974. Peristiwa ini telah mencoreng wajah stabilitas nasional Indonesia yang tengah menyambut kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka yang diperkirakan akan membawa aliran modal investasi dalam jumlah yang tak sedikit. Kisruh di tingkat elit itu pada akhirnya mengembalikan Yoga Sugama ke komunitas intelijen untuk menggantikan Sutopo Yuwono.

Wirawan mencatat bahwa di akhir 1980-an pemerintahan Orde Baru berniat mengubah watak dan karakter lembaga intelijen nasional. Kopkamtib yang kaku dan cenderung menggunakan pendekatan represif hendak digantikan dengan sebuah lembaga intelijen baru yang didesain lebih fleksibel dan mengedepankan pendekatan persuasif. Lembaga baru ini adalah Badan Koordinasi dan Stabilisasi Nasional (Bakorstanas), dibentuk tahun 1988 dan dipimpin Jenderal Try Sutrisno. Namun keinginan untuk mengubah watak dan karakter lembaga intelijen tampaknya masih sulit untuk dilakukan oleh Bakorstanas. Setidaknya, dari nama lembaga tersebut sudah terbayangkan bahwa pendekatan utama yang digunakannya dalam operasi intelijen adalah pendekatan keamanan untuk menciptakan stabilitas nasional. Selain itu, pada praktiknya lembaga ini juga menjalin kerjasama yang erat dengan lembaga intelijen lain yang juga kaku dan menggunakan pendekatan represif, seperti Bakin dan Badan Intelijen Strategis (Bais) ABRI yang dipimpin Jenderal LB Moerdani, juga lembaga intelijen yang ada di Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan.

Secara singkat, babak intelijen pembangunan yang dikembangkan oleh pemerintahan Orde Baru mengandaikan bahwa stabilitas keamanan nasional merupakan syarat mutlak dan pintu masuk tunggal untuk mencapai pembangunan nasional dan, pada gilirannya, mensejahterakan rakyat. Stabilitas nasional ini juga dipandang sebagai resep jitu yang dapat menekan berbagai suara sumbang yang dapat mengganggu jalannya pembangunan.

Pada bagian lain, bagi kelompok masyarakat sipil, model pendekatan pembangunan ini dikecam karena karakter kaku dan represifnya telah memakan banyak korban, korban-korban yang atas nama pembangunan justru terpinggirkan dan termiskinkan, dan ironisnya tidak dapat berkata apa-apa.

Perselingkuhan !!! Salah Siapa?

AJARAN agama mana pun di dunia ini, pasti tak ada yang membenarkan perselingkuhan dalam rumah tangga. Begitupun dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, pasti memandang negatif perselingkuhan, termasuk di negara-negara Barat sekalipun, yang terkenal dengan sekulerisme dan hedonismenya. Pernikahan, benar-benar dianggap sebuah “wadah” yang harus steril dari perselingkuhan, dan kesetiaan menjadi mutlak 100% bagi pasangan suami-istri, tak peduli berapa pun umur pernikahannya, dan bagaimanapun kondisi pernikahannya.

Akan tetapi, realitas hidup di masyarakat berkata lain. Tanpa perlu data statistik yang resmi dan valid, kita pasti tahu betapa mudahnya perselingkuhan dalam rumah tangga terjadi di masyarakat kita. Kita tak perlu menonton sinetron, telenovela, atau infotainment di televisi untuk bisa menyaksikan perselingkuhan, karena hal itu bisa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan di depan mata kita. Perselingkuhan bisa dilakukan oleh tetangga kita, kerabat kita, saudara kita, teman kita, teman kerja kita, atasan kita, guru/dosen kita, sahabat dekat kita, orang tua kita, saudara kandung kita, atau bahkan kita sendiri.

Perselingkuhan, dengan atau tanpa hubungan seks, meskipun jelas-jelas haram menurut agama dan dicap buruk oleh masyarakat, pada kenyataannya begitu mudah untuk ditemukan, bahkan untuk dilakukan. Perselingkuhan pun bukan menjadi monopoli pihak tertentu. Perselingkuhan tak kenal status sosial, tingkat pendidikan, jabatan, bidang profesi, domisili, bahkan gender. Kemajuan media massa dan teknologi semakin memperparah “mewabahnya” perselingkuhan. Istilah SII (selingkuh itu indah) seolah menjadikan perselingkuhan sebagai tren yang populer di masyarakat. Kalau kenyataannya seperti itu, kita jadi bertanya-tanya, ada apa di balik semua ini? Apa yang salah? Dan… siapa yang salah?

Dipandang dari sudut agama, maraknya perselingkuhan bisa dianggap sebagai indikasi menipisnya keimanan dan ketakwaan masyarakat kita, yang katanya “masyarakat religius”. Di zaman globalisasi seperti sekarang ini, memang hal-hal yang bersifat religi sering “terbenamkan” oleh hal-hal duniawi. Tapi ternyata, permasalahannya tidak sesederhana itu. Masalah perselingkuhan dalam rumah tangga adalah masalah yang sangat kompleks dan pelik, meski kita “biasa” mendengarnya. Kita harus benar-benar berpikir secara jernih, objektif, proporsional dan bijak dalam melihat masalah ini.

Memang ada banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut bisa terjadi. Tapi yang jelas, kita tak bisa “menghakimi” media massa dan teknologi sebagai pihak yang salah. Karena meskipun media massa melalui televisi begitu rajin menyuguhkan acara-acara sinetron, telenovela dan infotainment yang menceritakan tentang perselingkuhan, dan juga koran/tabloid yang juga rajin memuat berita atau cerita tentang perselingkuhan, yang bisa saja menjadi “contoh” dan “inspirasi” yang tidak baik kepada penonton dan pembacanya, tapi media massa hanyalah mengangkat potret masyarakat kita yang sebenarnya, dan bukan didasarkan pada imajinasi semata ataupun sebuah propaganda. Sedangkan teknologi, meskipun menghasilkan HP dengan segala fasilitasnya, dan juga internet dengan segala fasilitasnya yang menjadi booming di masyarakat kita bisa dijadikan “sarana” dan “media” selingkuh yang mudah, cepat, efisien, dan efektif, tapi teknologi hanyalah “alat bantu” manusia. Segala manfaat dan mudaratnya sangat bergantung pada manusia sebagai subjek.

Secara simpel tentu saja perselingkuhan dalam rumah tangga berkaitan langsung dengan pasutri yang bersangkutan. Salah satu pihak pasutri yang berselingkuh pastilah dianggap sebagai pihak yang salah. Akan tetapi, tanpa bermaksud “membela” pihak “peselingkuh” tersebut, kita juga harus bisa melihat dan menilai secara objektif dan proporsional apa “latar belakang” dan “penyebab” orang tersebut melakukan perselingkuhan. Kita tak bisa memberi cap “peselingkuh” tersebut sebagai orang bejat, tidak bermoral, atau orang tak beragama. Karena realitanya, tak sedikit “peselingkuh” tersebut termasuk tipe suami/istri yang orang “baik-baik”, cukup taat beribadah, dan bukan tipe orang yang “gatel”, yang senangnya kelayapan dan lihai mencari “mangsa”.

Ada banyak “motivasi” dan “latar belakang” pasutri melakukan perselingkuhan, yang sebenarnya hal tersebut merupakan indikator “ketidakberesan” di dalam rumah tangga mereka, walau sekecil apa pun. Berbagai beban, tekanan, dan problem hidup yang menumpuk dan bervariasi yang dialami pasutri di dalam rumah tangga mereka merupakan faktor utama; mulai dari masalah ekonomi, masalah anak, masalah “keluarga besar” (bisa dari keluarga salah satu pihak/malah kedua belah pihak), masalah psikis, komunikasi yang buruk, tempat tinggal terpisah di kota yang berjauhan, masalah pekerjaan, perbedaan status sosial dan pendidikan yang mencolok, perbedaan persepsi dan idealisme yang mencolok, “terjebak” pada rutinitas, kejenuhan, masalah seksual, dan masih banyak lagi.

Semua masalah itu membuat rumah tangga pasutri mana pun menjadi rentan perselingkuhan, yang kalau dibiarkan begitu lama dan intens bisa menjadi bom waktu, yang sewaktu-waktu bisa “meledak” dan menghancurkan semua yang telah susah payah dibangun selama ini.

Kehadiran WIL (wanita idaman lain) atau PIL (pria idaman lain), baik yang masih single, janda/duda, ataupun sama telah menikah, memang banyak dituding sabagai biang kerok terjadinya perselingkuhan di dalam rumah tangga. Tak sedikit istri yang langsung melabrak wanita selingkuhan suaminya, ataupun suami yang langsung ngamuk kepada pria selingkuhan istrinya, begitu mereka mengetahui perselingkuhan pasangannya. Tapi, benarkah semua “kesalahan” itu harus ditimpakan kepada para WIL atau PIL? Kalau memang rumah tangga mereka “baik-baik” saja, dan pasangan mereka pun “baik-baik” saja, kenapa sampai bisa masuk “orang ketiga” di tengah-tengah mereka?

Kita tak bisa langsung memberi cap WIL atau PIL itu sebagai “wanita/pria penggoda”, home broker (perusak rumah tangga orang), orang brengsek, “gatel”, rendahan, tak bermoral, dsb. Karena meskipun banyak WIL atau PIL yang berkarateristik seperti itu, tapi tak sedikit juga WIL atau PIL itu yang orang “baik-baik”, cukup taat beribadah, berpendidikan, dan bukanlah tipe orang yang “liar” atau “binal”.

Selain itu, kita juga tak bisa menuduh “motivasi” mereka adalah materi ataupun faktor ekonomi. Karena meskipun banyak WIL atau PIL yang memang pangeretan dan materialistik, yang bisanya hanya memanfaatkan uang atau harta selingkuhannya, tapi tak sedikit pula WIL atau PIL yang “rela” berselingkuh dengan suami atau istri orang lain yang jelas-jelas kere, boke, ataupun miskin. Tapi kenapa mereka mau juga melakukan perselingkuhan itu? Jelas, “motivasi” mereka bukanlah faktor materi.

Mungkin bisa jadi mereka sedang mengalami krisis perhatian, kasih sayang, perlindungan, merasa benar-benar “kesepian”, kekosongan, benar-benar butuh “sandaran”, dan “teman berbagi”. Atau bisa jadi juga mereka menaruh suka, simpati, atau malah… jatuh hati. Bagaimana bila ternyata suami atau istri yang berselingkuh itu sama-sama jatuh hati, atau setidaknya sama-sama tertarik dengan WIL ataupun PIL-nya masing-masing? Bukankah itu adalah masalah yang substansial?

Tapi… bukankah perasaan “cinta” kepada orang yang bukan “pasangan sah” tidak akan tumbuh subur dan merajalela, apabila kita bisa memupuk dan merawat cinta kepada “pasangan sah” kita? Dan itu tentu saja harus dilakukan oleh kedua belah pihak, bukan hanya salah satu pihak. Kesetiaan, kepercayaan, kejujuran, dan keterbukaan benar-benar harus menjadi “pilar” yang kokoh dalam berumah tangga, dan dilakukan oleh pasangan suami istri atas dasar keikhlasan, bukan karena “keharusan” dan “keterpaksaan” semata-mata.

Letak permasalahan topik ini bukan pada “siapa yang salah”, karena hal tersebut justru akan menjadi polemik yang berkepanjangan dan tak ada titik temu. Yang terpenting dalam masalah ini adalah, apa penyebab dan latar belakang terjadinya perselingkuhan dalam rumah tangga tersebut, dan bagaimana solusi terbaik untuk menyelesaikannya, yang dilakukan oleh pasangan suami istri yang bersangkutan dan juga WIL/PIL-nya masing-masing, karena yang paling tahu persis permasalahannya dan yang mengalaminya langsung adalah mereka sendiri.

Seperti apa pun solusi yang mereka tempuh, atau seperti apa pun ending dari perselingkuhan tersebut, sepatutnyalah dilakukan dengan cara-cara yang bijak, dewasa, bermartabat dan untuk kebaikan semua. Bukan dengan cara-cara yang barbar, kekanak-kanakan, arogan, dan egoistis. Jangan sampai masalah perselingkuhan yang merupakan masalah “besar” dalam rumah tangga, menjadi semakin “besar” dan “melebar” ke mana-mana, yang pada akhirnya bukan hanya aib kita yang terekspos kepada umum, tapi juga masalah “inti”-nya tidak akan terselesaikan, dan justru akan menyebabkan kehancuran, yang semakin menambah penderitaan, luka, dan air mata.***

Perbedaan Pistol dan Revolver

Kita tentu sering mendengar kata 'pistol' atau 'revolver'. Sayangnya, banyak diantara kita masih sering salah mengartikan pistol dan revolver sebagai sebuah kata yang mengandung arti sama. Bahkan, dibeberapa media cetak seperti koran, atau majalah masih sering ditemui kesalahan pengertian tersebut.

Kadangkala, pistol disebut sebagai FN, atau revolver disebut sebagai pistol, dll. Padahal keduanya merupakan jenis senjata genggam atau senjata laras pendek yang berbeda.
 

Senjata genggam atau senjata laras pendek lazim disebut 'firearms' atau 'handgun' sampai saat ini dikategorikan menjadi 2 jenis; yakni:
  1. Pistol
  2. Revolver
Membedakannya mudah saja. Pistol menggunakan magazine (penyimpan peluru dengan sistim pegas yang mendorong peluru naik ke ruang picu (chamber)). Sedangkan Revolver menggunakan penyimpan peluru dengan sistim putar (revolve) yang memutar peluru ke ruang picu (chamber).

Secara fisik, pistol terlihat lebih ramping, karena ruang penyimpan peluru biasanya ada di handgrip (pegangan) sedangkan revolver menyimpan peluru di bagian belakang laras.
Mana yang lebih baik, sampai saat ini tetap jadi perdebatan. Keduanya memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Hingga masalah mana yang lebih baik, akan kembali kepada penggunanya masing-masing. Pistol diyakini lebih cepat menembakkan peluru kedua, ketiga, dst. Revolver diyakini lebih cepat dalam proses pengisian ulang (reloading) ketika peluru habis.


Sejarah Revolver
Spesimen pertama dari revolver (dengan cara kerja yang sama dengan revolver yang ada saat ini) tercatat dibuat tahun 1680 di Inggris. Revolver ini bernama Snaphaunce Revolver. Senjata khusus yang dirancang dan dibuat untuk John Dafte.

Elisha Collier, mempatentkan rancangan Flinslock Revolver di Inggris, pada tahun 1818. Pada saat yang hampir bersamaan, rancangan yang nyaris sama dipatentkan oleh Artemus Wheeler di Amerika dan Cornelius Coolidge di Perancis. Siapa yang pertama, masih tidak terjawab sampai saat ini.

Samuel Colt, pada tahun 1830 (saat itu ia berusia 16 tahun) mulai merancang sebuah konsep senjata baru dengan sistim putar (revolve). Ia memperoleh patent untuk Revolving Gun di Inggris pada tahun 1835 dan di Amerika pada tahun 1836. Pada tahun tersebut, Ia juga mulai memproduksi revolving gun tersebut secara massal.

Pada tahun 1839, 1848 dan 1850, Samuel Colt terus mendaftarkan dan memperoleh patent atas konsep revolving gun-nya yang saat ini dikenal sebagai revolver. Dengan kepiawaiannya tersebut, banyak orang menyandangkan predikat penemu revolver terhadap Samuel Colt.




Sejarah PISTOL

Pistol, diyakini dirancang oleh Samuel Colt dan John Browning yang merancang pistol legendaris Colt 1911 pada tahun 1887. Rancangan senjata dengan sistim magazine tersebut awalnya didisain untuk tentara Amerika yang merasa kewalahan menggunakan revolver kaliber .38 dalam melawan perlawanan suku Moro di Philipines.

Dengan desain baru dan peluru berdiameter lebih besar (cal. 45), Pistol yang diambil dari bahasa Perancis 'pistolet' dirancang untuk memberikan daya hantam (stopping power) lebih besar ketimbang revolver caliber .38 yang saat itu digunakan oleh tentara Amerika.

Pada tahun 1906, desain-desain pistol yang dirancang oleh pembuat senjata Colt, Browning, Luger, Savage, Knoble, Bergmann, White-Merrill and Smith & Wesson, mulai diuji-cobakan di kemiliteran Amerika.

Salah satu rancangan, yakni milik Samuel Colt saat itu menjadi produk terbaik pada ujicoba yang dijalankan pada tanggal 3 Maret 1911. Model tersebut kemudian populer dengan nama Colt 1911 (ninetenth-eleven).

Pada ujicoba tersebut, pistol desain Colt tersebut lulus menembakkan 6000 peluru dengan penembakan terus-menerus per-100 butir peluru, dengan masa istirahat 5 menit, dan pembersihan pistol setiap 1000 peluru.

Setelah lulus ujicoba tersebut. Pistol tersebut diproduksi secara masal, dan diberi kode/seri Colt Model 1911-A1 (atau M1911-A1). Sejak saat itu, desain pistol tidak (atau belum) pernah berubah hingga kini. Colt 1911 tersebut, sering dijuluki "A Mother of All Pistol"


So....,

Jadi, kalau Anda melihat tulisan, e.q: "..ditemukan beragam senjata jenis FN dan revolver.." itu salah kaprah. Sebagian besar kita, orang Indonesia sering membahasakan 'pistol' sebagai 'FN'. Padahal FN adalah sebuah nama (merk) fabrikan senjata di Belgia, 'Fabrique Nationalle' bukan jenis senjata.

Istilah FN sering salah kaprah diartikan sebagai jenis senjata genggam. Padahal FN adalah merk pistol. Bukan jenis senjata. Sama seperti merk (fabrikan) senjata lain seperti Colt, Smith & Wesson, Winchester, dll. Fabrique Nationalle (FN) juga memproduksi banyak senjata lain seperti FN - FAL, FN - FNC, FN - Minimi, dll.


Joe DSI

Tips Menyewa Seorang Detektif Swasta.

Kita semua membayangkan bagaimana gaya seorang penyelidik swasta. Memegang kaca pembesar, topi menutupi matanya, menggunakan kacamata hitam. Tapi bagaimana kalau Anda benar-benar membutuhkan jasa detektif swasta? Siapa yang Anda telepon? Bagaimana tahu kalau mereka ada gunanya? Berikut adalah cara untuk melacak detektif swasta yang berkualitas.

1. luangkan waktu anda. Sudah pasti anda menginginkan dengan cepata apa yang Anda butuhkan. Tapi jangan biarkan perasaan urgensi membimbing Anda untuk bekerja dengan orang yang salah. Tanyakan teman-teman dan kenalan Anda jika mereka memiliki rekomendasi pribadi untuk detektif swasta, Anda harus menghubungi. Periksa asosiasi negara - sebagian besar negara memiliki mata organisasi swasta yang bisa membuat petunjuk  menggunakan nama negara bagian di pencarian Google, bersama dengan asosiasi swasta untuk menemukan grup di daerah anda.

2. Jangan lupa di Yellow Pages. Buku nomer-nomer telepon bisa memberikan pengertian yang baik bagi perusahaan yang mapan dan sanggup iklan besar, dan mana yang hanya satu baris daftar. Sementara perusahaan-perusahaan kecil mungkin mempunyai layanan ahli untuk menawarkan,

3. Verifikasi. Periksa perusahaan yang anda inginkan untuk memastikan mereka benar berlisensi. Selain itu, mencari tahu dari perusahaan nama individu yang akan bekerja dalam kasus Anda, dan memeriksa identitasnya juga. Selain informasi yang tersedia secara langsung dari perusahaan, cek dengan otoritas perizinan Negara penyelidik swasta

4. negosiasi harga. Penyelidik swasta umumnya biaya per jam atau hari, dengan biaya biasanya mulai dari $ 50 sampai $ 150 per jam. Ia menambahkan dengan cepat, jadi pastikan Anda bernigosiasi dari awal.

5. Kontrak tertulis. Mendapatkan persetujuan dengan perusahaan secara tertulis, dan memeriksanya dengan hati-hati sebelum penandatanganan. Jika perusahaan perlu untuk mengakses account pribadi Anda, seperti kartu kredit dan rekening bank (dan kadang-kadang, mereka mungkin memiliki kebutuhan yang sah untuk melakukannya), pastikan perjanjian membatasi akses mereka atau menggunakan account tersebut.

6.Mengerti akan  hukum. Kita harus mengerti akan hukum untuk mencegah pelanggaran kontak, sehingga apabila terjadi pelanggaran kontrak atau tidak sejalan dengan perjanjian kita bisa menuntut pertanggungjawabannya dan kuat secara hukum

Ilmuwan dan DETEKTIF

Serupa tapi tak sama

Banyak keluhan bahwa ilmuwan tidak membumi, atau bahkan tidak peduli tentang aktifitas sosial keseharian. Lebih dari itu, bahkan ada pula yang menuding bahwa banyak ilmuwan tidak rela berbagi ilmunya dengan masyarakat awam di sekitarnya. Apa betul demikian? Jika ya, mengapa mayoritas ilmuwan bersikap begitu? Saya coba memberikan sudut pandang lain, untuk merespon dua artikel sebelumnya yang ditampilkan Merry Magdalena  [1] dan Arli Aditya Parikesit  [2].

Ilmuwan dan Detektif

Untuk menjelaskan kepada masyarakat awam mengenai lika-liku profesi ilmuwan, salah satu analogi yang mudah dicerna orang awam adalah dengan meminjam profesi lainnya: detektif. Tentu semua orang sudah merasa paham apa pekerjaan seorang detektif. Tujuan utama dalam penyelidikan yang dijalankan adalah untuk memecahkan sebuah misteri, di mana terdapat beberapa jawaban yang semula tampak memungkinkan. Untuk mencapai tujuannya, detektif yang baik harus bisa menyusun teori awal mengenai apa yang paling mungkin menjadi jawaban dari pertanyaan yang ingin dijawabnya. Kemudian ia harus dengan teliti mencari semua petunjuk, kemudian menggunakan hasilnya untuk secara sistematis menyisihkan jawaban-jawaban yang tidak memenuhi teorinya. Kadangkala, ternyata petunjuk yang diperoleh justru menyatakan bahwa teori awalan yang ia pakai keliru, sehingga teori itu perlu direvisi dan diuji ulang. Pengujian teori ini dilakukan misalnya dengan usaha menjebak seorang tersangka untuk memberikan petunjuk lanjutan atau bahkan mengakui tindak kejahatan yang dilakukannya. Yang tidak kalah pentingnya, detektif yang berkualitas harus jeli dan cepat dalam bergerak, jika ia tidak ingin didahului oleh pihak lain yang juga berkutat di misteri yang sama.

Nah, sebetulnya deskripsi yang dipakai untuk menggambarkan pekerjaan detektif tadi juga berlaku untuk profesi ilmuwan. Mari kita tengok bersama-sama. Ketika disodori sebuah fenomena atau masalah yang aneh, maka seorang ilmuwan (saintis maupun insinyur) yang berkualitas harus mampu memulai pekerjaannya dengan menyusun teori awalan: apa saja kira-kira hal yang mampu menjelaskan fenomena tersebut. Petunjuk pun harus dilacak. Pertama, dengan cara meneliti apa saja yang sudah dikerjakan oleh para ilmuwan pendahulu dan relevan dengan masalah yang dihadapi. Kedua, dengan merancang berbagai pengujian, sedemikian sehingga beberapa alternatif solusi dapat disingkirkan karena ternyata tidak sejalan dengan masalah yang diselidiki. Terkadang pula teori awalan yang digunakan terbukti tidak benar, sehingga teori baru perlu disusun dan pengujian perlu diulang. Dan yang juga penting, penyelidikan ini perlu dilakukan dengan cepat dan jeli, karena jika tidak maka ilmuwan lain yang lebih dulu menemukan jawaban masalah tadi kemudian mempublikasikan hasilnya. Jika ini terjadi, maka jerih payah yang dirintis selama ini tidak lagi bisa dipublikasikan karena memang tidak lagi menyumbangkan pengetahuan yang baru untuk dunia.

Berbagi Ilmu, Mengapa Susah Dilakukan?

Setelah melihat analogi di atas, kita bisa kembali ke dua pertanyaan kita: mengapa mayoritas ilmuwan cenderung tampak tidak peduli dengan sosial keseharian? Dan mengapa mereka bahkan seperti tidak mau membagi hasil penelitian dengan masyarakat di sekitarnya?

Kegiatan penyelidikan selalu memakan waktu yang tidak sedikit serta menyita perhatian yang penuh. Ini berlaku baik untuk seorang detektif maupun seorang ilmuwan. Karena curahan penuh dan dedikasi yang diberikan demi memecahkan masalah yang dihadapi tadi, maka banyak ilmuwan yang kemudian merasa keasyikan dan lupa bahwa sebetulnya masih ada banyak aspek dalam sebuah kehidupan selain penyelidikan yang dijalaninya. Hal ini bisa menjawab pertanyaan yang pertama, walaupun tentu tidak dapat digeneralisasi untuk semua kasus ilmuwan.

Sedangkan jawaban dari pertanyaan kedua terkait dengan salah satu tuntutan kerja yang saya kisahkan di atas: penyelidikan yang dikerjakan harus dikerjakan dengan cukup cepat, agar tidak didahului oleh pihak lain (untuk detektif: agar tidak didului pelaku kriminal yang ingin menghapus jejak; untuk ilmuwan: agar hasil penyelidikannya dapat dipublikasikan tanpa didului oleh ilmuwan lainnya). Karena itu, walaupun seorang ilmuwan pasti senang jika hasil penyelidikannya dapat bermanfaat untuk orang banyak di sekitarnya (bahkan, hal ini pun akan menambah kepercayaan diri dan semangat kerja ilmuwan yang bersangkutan), tentu ia ingin agar hasil tersebut dapat lebih dulu ia publikasikan atas namanya.

Apa Tujuan Publikasi?

Setelah membaca paragraf terakhir di atas, kebanyakan orang mungkin lantas bertanya-tanya: bukankah ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh penelitian itu berhak untuk diketahui dan diakses oleh setiap orang? Kalau begitu, mengapa para ilmuwan perlu berlomba-lomba dalam menyelidiki dan mempublikasikan hasil yang didapat?

Dalam dunia yang ideal, memang tampaknya indah sekali jika hal ini terjadi. Tapi dalam dunia nyata, setiap manusia punya kecenderungan untuk tidak berprestasi dengan maksimal. Untuk mengatasi ini, maka komunitas manusia merancang sistem yang memberikan penghargaan lebih kepada manusia yang lebih berprestasi. Demikian pula yang terjadi di dunia ilmuwan. Alhasil, para ilmuwan perlu berlomba-lomba dalam bekerja dan menghasilkan publikasi. Efek positifnya adalah para ilmuwan terpacu bekerja sebaik mungkin, sedangkan efek negatifnya adalah melambatnya penyebaran ilmu pengetahuan hasil penyelidikan tadi.

Berkaitan dengan fenomena publikasi ini, sebuah proposisi pun terlahir: Sesungguhnya para ilmuwan mempublikasi makalah ilmiah mereka selalu dengan dua niat: (1) untuk memamerkan hasil kerja mereka kepada dunia, dengan cara mengklaim hasil penyelidikan yang didapat atas namanya (niat berbasis liberalisme), dan (2) untuk berbagi hasil penyelidikan tersebut kepada masyarakat awam, karena mereka merasa bahwa tanggung jawab itu ada di pundak mereka (niat berbasis sosialisme) [3].

Arogansi atau Spesialisasi?

Satu masalah lain yang belum dibahas di atas adalah tudingan mengenai arogansi para ilmuwan terhadap komunitas di sekitarnya. Misalnya, ketika diminta untuk menghasilkan tulisan ilmiah populer yang berkaitan dengan bidang penyelidikannya, sebagian ilmuwan berujar bahwa memang bukan itu keahlian dan spesialisasinya. Respon seperti ini tidak tepat untuk dianggap sebagai pertanda arogansi, melainkan justru sebagai lambang kehati-hatian dan kesadaran tanggung jawab. Analoginya, dalam sebuah pertandingan sepakbola, seorang kiper umumnya tidak akan mau jika diminta ikut berdiri di dekat gawang lawan untuk mencoba mencetak gol. Bukan karena ia arogan dan merasa bahwa ia terlalu sibuk dengan bidangnya sendiri, tapi memang karena jika ia melakukannya maka hasilnya justru akan malah tidak baik.

Singkatnya, dengan artikel ini saya berusaha memberikan sudut pandang lain dari permasalah ilmuwan yang dituding tidak dapat membumi. Sudut pandang lainnya saya nantikan pula, karena itu akan dapat memperkaya wawasan kita semua.
 
Support : Copyright © 2020. - - All Rights Reserved